Pantai Siung dan Pantai Jogan. Adalah dua pantai yang berbeda namun masih satu kawasan di pesisir pantai daerah Gunung Kidul, Jogja. Pertama kali saya kesini, bersama teman-teman dari Bandung, tepatnya beberapa jam setelah turun Gunung Merbabu.
Rencana awalnya kami akan
melakukan double summit Merbabu dan Merapi, bahkan sampai kami mendaki Merbabu
pun kami masih berpikiran untuk meneruskan pendakian menuju Merapi. Namun
rencana meneruskan pendakian ke Merapi tersebut mau tak mau harus kami pupuskan
karena ternyata kami mendengar kabar bahwa pada waktu itu Merapi kembali Awas. Saya
langsung membuka info di media elektronik dan benar memang, Pihak pengelola
Gunung Merapi hanya memperbolehkan melakukan aktivitas pendakian sampai Pasar
Bubrah saja. Akhirnya kami pun
memutar ide untuk mencari tempat lain yang bisa kami kunjungi di sela-sela perjalanan
kami ini. Ternyata jatuhlah pilihan kami
pada pada pantai-pantai di wilayah Gunung Kidul, alasannya sih iseng saja
awalnya. Karena namanya ada Gunung-nya, yah seengganya gagal ke Gunung Merapi,
Gunung Kidul pun bisa jadi pelipur hati.
Pukul 21.00 sabtu malam, Tanggal
3 Mei lalu, kami mulai memacu kecepatan menggunakan dua buah mobil yang kami
sewa di daerah alun-alun Jogja, serba mendadak namun akhirnya dapat juga. AAAhhhhhh ini bakal jadi perjalanan super
random yang begitu menyenangkan pastinya. Ditemani banyolan khas ala frekuensi FM radio Jogja,
kami mengambil arah ke wilayah Kidul Jogja, lelucon dan gelak tawa sesekali
memecah perjalanan yang semakin malam semakin sunyi dan jarang penghuni.
Pantai Indrayanti, awalnya
menjadi tujuan utama destinasi kami kala itu, namun entah kenapa ketika Saya
bangun, tiba-tiba Saya sudah berada di sebuah parkiran beralaskan pasir,
mungkin lebih tepatnya bibir pantai. Saya tidak bisa melihat jelas apa yang ada
di depan saya karena begitu pekat dan gelap. Saya hanya mendengar deburan ombak
dan angin yang saling bertautan menjajaki gendang telinga saya.
Seseorang berteriak memanggil dan
menyuruh Saya turun dari mobil, Saya pun membuka pintu mobil mengikuti
teman-teman saya yang sudah terlebih dulu turun. Samar-samar, saya semakin bisa
melihat dengan jelas apa yang ada di depan mata saya. Ombak, pasir, air garam, tebing,
dan karang.
“Wooaaaaaawww kita sampai di
Indrayanti ini? “ // “Bukan-bukan, ini bukan Indrayanti” //” Beuuuhh terus apa
apa dong ini??”// “Ya pantai lahhh masa gunung “//” Yaelah anak balita juga tau
ini pantai, pantai apa maksudnyaaa..?”//” aaaahh banyak nanya lu, yaudah sih mending cepet
sini bantuin kita ngebangun tenda sama bikin perapian//” -imajinasi.
Pantai Siung. SUMPAAAH Ini pantai
emang kece badai. Kalo biasanya di
film-film barat romantis suka ada adengan:
“Suatu malam di sebuah pantai indah di
Surganya dunia, tersebutlah sepasang kekasih yang sedang menikmati malam
bersama. Mereka mendirikan tenda diatas cekungan bibir pantai tersebut, tepat
didepan tenda mereka terlihat hamparan luas pasir putih berbalut air laut,
sesekali dikeroyok ombak lalu dibawa pergi. Disamping tenda, mereka berkumpul
membentuk lingkaran kecil diantara hangatnya nyala api ungun. Dalam canda dan
gelak tawa, mereka pun mulai menghempaskan diri menyentuh pasir-pasir yang kian
berbisik. Mereka mulai menengadah menyapa langit dan tanpa sadar milyaran bintang sudah menggantung menghiasi
atap tidur mereka. Tak ada satupun bintang yang menyendiri, mereka berkumpul membentuk
gugusan indah penuh makna dan cerita. Bahkan lebih takjub lagi, tidak sedikit
dari bintang-bintang itu yang nampak seperti jatuh menghujani orang-rang di bawahnya, seperti
hujan bintang, atau hujan meteor, lebih jauh lagi hujan matahari yang berada 5
cm diatas mata, begitu dekat, namun tak sedikitpun panas. Sungguh malam yang
begitu mendekatkan mereka dengan alam dan penciptanya, beralaskan pasir,
beratapkan langit, berhiaskan bintang, bemandikan air laut. Di setiap untaian
suka cita, terselip doa dan nyanyian. Lalu mereka pun berdoa lewat untaian nada
berbalut ketulusan. Begini bunyinya:
“Tetaplah bersamaku,”
“Jadi teman hidupku,”
“Berdua kita hadapi dunia,”
“Kau milikku Ku milikmu kita
satukan tuju”
“Bersama arungi derasnya
waktu....”
Tak terasa hari pun berganti,
atap bintang tetiba berubah menjadi
lukisan langit biru tanpa batas.
Hari sudah siang, “Bangun-bangun
heh..” seseorang membangunkan Saya.
Jadi semalam saya mimpi?? Tapi
terasa nyata banget banget. Tidak-tidak, itu bukan mimpi!! Semua alurnya persis saya alami ko, hanya
saja tokoh utamanya yang berbeda. Bukan sepasang kekasih, melainkan sekumpulan
teman. Ada saksinya ko, ada rekaman pas
kami lagi nyanyi-nyanyi bareng ko di ponsel saya, ups baru inget kalo data di
ponselnya keformat ulang....siaaaal...
Ahhh terlalu panjang jika saya
ceritakan lewat drama telenovela ini, intinya pantai Siung itu bagi saya
seperti duplikasinya Phiphi Island di Phuket sana. Ada tebing tebing menjulang
di bibir pantainya, ada karang berjejer membentuk lekukan indah menawan, ada
pasir putih dengan lautnya yang biru, ada matahari yang malu-malu terbit dari
balik tebing, ada kepiting dan aneka penghuni laut saling berlarian, ada
bahagia dan rasa syukur tak terhingga disana, dibalik semua kenikmatan yang
telah alam karuniakan di bumi nusantara ini.
Teng- tong,, dan siang pun mulai
datang, akhirnya kami pun harus rela meninggalkan tempat indah, bersih, dan
menawan ini. Jam 12.00 kami harus sudah
ada di Stasiun Kereta Lempuyangan untuk kembali ke Bandung. Lalu mobil yang
kita tumpangi pun meluncur menuju satu tempat lagi yang hendak kami singgahi
sebelum kami pulang.
Pantai Jogan. Menyusuri jalan beraspal,
membelah kesunyian hutan. Selanjutnya kami berbelok menuju jalan agak sempit, dan terlihatlah sebuah air terjun mengalir indah diantara ukiran tebing-tebing menjulang tinggi. Air terjun ini mempertemukan air tawar dari balik perbukitan Gunung Kidul dengan air laut khas milik Samudra Hindia. Derasnya Air Terjun Jogan terdengar memekik bersautan dengan gulungan ombak Samudra Hindia. Sebuah sensasi lain yang belum saya rasakan sebelumnya di gunung manapun bahkan di pantai berpasir manapun.
Jam menunjukkan pukul 10.00, saatnya kami meninggalkan Gunung Kidul bersama segala kenangan singkat yang sempat kami dapat. Terakhir, mobil pun berlalu menyusuri jalan beraspal melewati perbukitan membelah pepohonan kering menuju pusat kota.
Jam menunjukkan pukul 10.00, saatnya kami meninggalkan Gunung Kidul bersama segala kenangan singkat yang sempat kami dapat. Terakhir, mobil pun berlalu menyusuri jalan beraspal melewati perbukitan membelah pepohonan kering menuju pusat kota.