Gunung Lawu merupakan salah satu Gunung yang berada di wilayah perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Gunung ini memiliki ketinggian sekitar 3265 meter diatas permukaan laut (MDPL) dengan kawah yang masih mengeluarkan uap air dan bau belerang. Ada banyak jalur yang biasa digunakan para pendaki untuk mencapai Puncak Argo Dumilah-nya, salah satunya adalah jalur Cemoro Sewu dengan ketinggian pos awal 1600 MDPL. Jalur ini sudah masuk wilayah Sarangan, Jawa Timur, selisih sekitar 200 meter dengan jalur Cemoro Kandang yang berada di Tawangmangu, Jawa Tengah.
Oh ya, kenapa kami memilih jalur
Cemoro Sewu? Karena jalur ini memiliki jarak tempuh lebih cepat dibanding jalur
lainnya. Waktu singkat di akhir pekan yang kami miliki membuat kami membutuhkan
jarak track yang lebih singkat. Jarak yang lebih singkat tentunya dengan medan
yang lebih berat dan track berbatu yang selalu curam.
Jumat, 29 Agustus 2014 kami
memulai perjalanan kami dari Bandung menggunakan Kereta Api Kahuripan dengan
pemberangkatan pukul 20.05 WIB. Ada sedikit hal epic yang kami lalui disini.
Saya dan beberapa anggota tim terjebak pada antrian yang cukup panjang saat
menukar tiket, alhasil kami nyaris dibuat kaget karena kereta yang akan kami
tumpangi sudah mulai memacu kecepatannya. Kami pun sontak teriak “Tungguuuuu.....!!!!”
dan berlari mengejar kereta sampai-sampai bapak petugasnya memberikan instruksi
“Halo Halo bla bla bla...” kepada masinis melalui alat komuikasinya. Puji Tuhan
kami masih diberi kesempatan, dengan nafas tersengal-sengal kami pun lekas naik
kereta dan mencari kursi kami. Yasssss, dan setelah itu perjalanan menyenangkan
dimulai.
Team Kacrut Pendakian Lawu
Sabtu pagi, pukul 05.34 kami
sudah tiba di Stasiun Purwosari, Solo. Dari sini, kami sudah ditunggu oleh
rekan kami yang akan menemani perjalanan kami ke Gunung Lawu. Adalah AMBEMWATI,
kelompok pecinta alam asal Solo yang beberapa anggotanya adalah Mas Sofyan, Mas
Bison, dan Mas Samto. Sebenarnya ini bukan kali pertama kami bergabung bersama
mereka, sebelumnya saat pendakian Merbabu Mei lalu pun kami ditemani mereka.
Jadilah kami 25 pendaki dari bandung ditambah 3 orang putra Solo. Omprengan
telah datang, kami pun bergegas menumpangi angkutan tersebut menuju Posko
Pendakian Cemoro Sewu.
Sekitar 2 jam perjalanan, kami
sudah sampai di posko pendakian jalur Cemoro Sewu. Siang itu, setelah selesai
mengurus administrasi, masing-masing dari kami sibuk melakukan berbagai macam
persiapan pra-pendakian. Ada yang makan, re-packing, beli perlengkapan
logistik, buang air, olahraga pemanasan, dan foto-foto pastinya.
Gerbang pendakian Gunung Lawu via Cemorosewu
Cerita asal muasal Gunung Lawu ( Baca aja di google)
Breafing sebelum mulai tracking
Hari yang cerah untuk melakukan
pendakian. Matahari sudah berdiri hampir tepat diatas kepala kami, itu berarti
saatnya kami memulai pendakian. Ada 5 pos yang harus kami singgahi. Dari pos
awal ini kami berjalan sekitar 1.5 jam supaya tiba di Pos 1. Oh ya, track yang
kami lalui dari pos awal menuju pos 1 ini berupa jalur berbatu dengan kontur
menanjak ditemani gundukan pohon cemara disana-sini. Itulah kenapa nama jalur
ini Cemoro Sewu. Setelah melewati barisan pohon Cemara, kami menjumpai ilalang
dan ladang yang ditumbuhi sayur-sayuran. Sebelum tiba di Pos 1, kami mendapati
suatu sumber mata air yang sekaligus sebagi sumber mata air terakhir yang akan
kami temui. Orang bilang namanya Sumber Air Wesanan. Sebagian besar dari kami
pun berhenti sejenak untuk menunaikan solat dzuhur dijamak dengan ashar.
track menuju Pos 1 (masih banyak bonusnya)
Kesibukan Saya, Teh Nina, Agita, dan Mas Sopian disela-sela waktu Dzuhur (ga paham lagi)
Sampai di Pos 1, ada pemandangan
unik yang tak pernah saya lihat di gunung manapun sebelumnya, tempe mendoan
hangat. Ini mendoan bukan sembarang mendoan, ini mendoan Cuma ada di Gunung
Lawu, di tengah hutan meeeeeen. Udah ga ngerti lagi apa yang si mbok pikirin
sampe dia jualan tiap hari disini. Saking penasarannya saya sampe
mewawancarainya (liputan video dan cuplikan wawancaranya tar nyusul yah). Dua biji mendoan sebenarnya belum cukup untuk
saya, tapi berhubung mendoannya limited edition (udah berasa ngeburu sepatu
converse buy one get one spesial 17-an aja) jadinya ya sudah, kami mulai memacu
langkah kembali menuju pos 2.
Mendoan paling enak se-alam dunia
Kali ini, track yang ditempuh
dari Pos 1 menuju Pos 2 memiliki waktu dan jarak tempuh super panjang diantara
pos-pos lainnya. Track berbatu yang semakin lama semakin sempit, curam dengan
kemiringan tajam menjadi satu-satunya pilihan yang harus kami tempuh. Sekitar 2.5
jam waktu yang kami habiskan untuk sampai di Pos 2. Tumbuhan di sekitar track
ini lebih didominasi oleh pepohonan jangkis sejenis pakis dengan
ranting-ranting yang gersang, sehingga panas matahari terasa begitu membakar
kulit. Tapi tidak perlu khawatir, disini kita dapat memetik buah-buahan ala Hutan
sesuka hati. Sepanjang track ini banyak sekali dijumpai pohon-pohon dengan
buahnya yang merah merona, namanya Arben dan Murbey. Kombinasi rasa manis dan
asamnya dapat menjadi penyegar dahaga di tenggorokan.
Ini namanya Murbey
Sehabis tanjakan curam, di
sebelah kiri tebing batu raksasa, ada sebuah saung beratap utuh, itulah Pos 2.
Saya lekas melepas gembolan hijau yang sedari tadi menempel di punggung,
menyandarkan diri ke sebuah batu besar, meluruskan kaki, dan mulai menghela
nafas sepanjang-panjangnya. Wahh segar sekali udara disini...
Track menuju Pos 2
Foto duluuuuuu lahhhh
Selang 15 menit, saya dan
teman-teman kembali bangkit dan mulai berjalan. Pos 3, tujuan kami selanjutnya.
Sore itu, ketika kami sudah sampai di pos 3, kami memutuskan untuk membuka
bekal kami. Nasi rames menjadi menu makan sore yang kami beli dari posko
pendakian siang tadi. Pemandangan hijau dari atas gunung, dihiasi gumpalan
kabut putih di sela-sela bukit melengkapi suasana makan kami yang begitu
mengesankan. Saya merasa tidak ingin beranjak dari momen ini, indah sekali
melihat gumpalan kabut itu, ingin rasanya saya melemparkan diri saya kesana
lalu berguling-guling diatasnya. Namun lamunan saya tetiba terusik ketika
seorang teman mengajak kami untuk segera berkemas, karena ternyata udara segar
tadi secara drastis berubah menjadi udara super dingin yang akan semakin terasa
dingin jika kami tidak segera menggerakan badan kami. Sekitar pukul 17.00, lalu
kami pun melanjutkan perjalanan kami menuju pos 4.
Track menuju Pos 3
Menyaksikan indahknya gumpalan kabut di sore hari
Foto lagi laahhhh
Track menanjak dengan konstan,
berbanding terbalik dengan suhu yang menurun secara drastis. Menuju Pos 4 ini,
kami berada pada transisi waktu antara siang dan malam, lembayung merah merona samar-samar
muncul mengantarkan sang penerang jagad pulang ke peraduannya. Ah saya tak
mampu mendeskripsikan secara verbal apa yang saya rasakan pada waktu itu,
campur aduk antara lelah dan kekaguman yang kian megah terhadap apa yang gunung
ini sajikan kepada para tamunya. Tidak lama larut dalam pemandangan indah
gunung ini, kami sadar gelap mulai datang, saya segera memasang headlamp,
mengenakan mantel, kupluk, dan sarung tangan saya. Begitu pun yang lain, di pos
4 ini kami gunakan waktu istirahat kami untuk bersiap-siap melakukan
aktifivitas pendakian malam, aktivitas yang menurut saya memiliki tantangan
tersendiri, karena sebisa mungkin kita
harus tetap mempertahankan kondisi badan kita yang semakin lelah dengan suhu
dingin ekstrim dan pandangan yang terhalang oleh pekatnya gelap.
Menyaksikan lembayung merah merona pertanda malam datang
Jadi ceritaya Saya pun menjadi
salah-satu orang yang akan segera tersingkir gara-gara kondisi cape, berat, dan
dingin yang campur aduk menggaggu kinerja organ tubuh saya. Semakin naik semakin sulit rasanya bagi saya
dan beberapa yang lain untuk mengangkat kaki. Beban gembolan ini rupanya
lumayan mengganggu, untuk mengatur nafas saja saya harus berhenti beberapa
saat, hingga pak ketua kelompok, Guntur namanya, Ia pun turun tangan membantu membawa
carrier saya. Padahal tak lama kemudian,
ternyata Pos 5 sudah ada di depan mata.
Kembali semangat saya naik lagi saat saya dihadapkan pada kilauan
lampu-lampu malam bumi Jawa jauh di bawah sana. Teh Syifa, salah satu dari tim
kami yang pernah ke Gunung ini sebelumnya, dia bilang tempat camp nya sudah
dekat, disana ada area datar dan sedikit lapang yang bisa kami gunakan untuk
membangun tenda. Malah katanya disana ada warung yang menyediakan peyek dan
nasi hangat setiap saat. Waaaw Cuma ada di Gunung ini, warung di setengah jam menuju puncak. Warung Mbok
Yem namanya, terkenal sampe kemana-mana. Lalu tanpa berlama-lama, kami segera
bergegas memacu langkah menuju tempat tersebut.
Sekitar setengah jam kemudian,
kami akhirnya berhasil menyusul 3 orang teman kami (porter mungkin lebih
tepatnya) yang sudah terlebih dahulu sampai. Tibalah kami di suatu area datar
sedikit luas, nampak beberapa tenda berjejer. Sebuah warung dengan ukuran
panjang dikali lebar yang cukup luas berada di sebelah kanan area tenda-tenda
tadi. Bukan bohong ternyata, di tengah hutan diatas gunung seperti ini ternyata
ada warung. Berarti mbok-mbok judes yang sedang mengalaskan nasi ke piring itu
adalah Mbok Yem???
Jawabannya ternyata ya tapi
bukan. Ya, ya itu mbok-mbok. Tapi bukan, itu bukan Mbok Yem yang kami maksud.
Ada lagi Satu Warung tepat Puncak Hargo Dumilah sana, itu baru Mbok Yem yang
asli. Nasi hangat ditemani peyek dan pecel buatan beliau biasanya menjadi
incaran utama para pendaki setelah puncak. Wenak tenaaaaan kalo kata orang
sini.
Ah sudahlah, walau ini bukan
Warung Mbok Yem, tapi kami pikir tak ada salahnya kami membangun tenda disini,
lagipula sudah terlalu dingin, baiknya kami segera beristirahat supaya dini
hari kami bisa summit attack. Selamat tidur. (bersambung)
Ini nih penampakan yang bikin berisik Gunung Lawu
Ananuranita
Photo by: Agita, Mas Imam, Guntur, Ana
No comments:
Post a Comment
Silahkan komen di bawah ya :)