Masih bersama YKS team, libur imlek pekan lalu, tepatnya tanggal 31 Januari 2014, Saya dan
beberapa kawan seperjuangan Pendakian menuju Puncak Mahameru (Guntur,
Yoga, Agita, Mila, Chitra, Teh Nina, Tami, dan Uchi) kembali ingin menelusuri
keindahan alam raya dari atas ketinggian. Dan Papandayan lah yang menjadi
gunung pilihan ketua tim kami, Guntur. Di cerita tempo lalu, Saya pernah bilang
bawa alam dapat menyatukan perbedaan, dan hal tersebut berlaku juga di
perjalanan kami kali ini. Guntur membawa pasukan baru, sebut saja DNF (Doni and Friends), mereka ber-13 orang
adalah rekan-rekan kerja Guntur di kantornya., 4 orang wanita ( Ainun, Icha,
Putri, Reni) dan sisanya para pria ( Mas Doni, Abul, Cupit, Hendro, dll). Jika
ditinjau dari logat bicaranya yang kental, kebanyakan dari mereka sepertinya
berasal dari daerah Jawa (yang jelas bukan Jawa Barat), dan ternyata
memang benar. Inilah mengapa tadi saya bilang alam
dapat menyatukan perbedaan, dari
mulai beda tempat kuliah, jurusan, daerah, tempat kerja, suku bangsa, bahkan
negara (cuma sayang disini
4 bule-bule kemarin gabisa ikut).
Menurut informasi yang dilansir dari Mbah Wiki, " Gunung Papandayan adalah gunung api yang treletak di Kabupaaten Garut, ajawa Barat tepatnya di Kecamatan Cisurupan. Gunung dengan ketinggian 2665 mdpl itu terletak 70 km sebelah tenggara kota Bandung. Gunung ini memiliki beberapa kawah yang terkenal, diantaranya Kawah Mas, Kawah Baru, Kawah Naangklak, dan Kawah Manuk. Kawah-kawah tersebut mengeluarkan uap dari sisi dalamnya. Tofografi di dalam kawasan curam, berbukit dan bergunung serta terdapat tebing yang terjal. Menurut klasifikasi Schmidt dan Furquson termasuk type iklim B, dengan curah hujan rata-rata 3.000 mm/thn, kelembaban udara 70-80 % dan temperatur 10 C.
Itulah sekelumit gambaran umum mengenai Gunung yang kami daki kali ini. Sebagai info tambahan yang saya dapat dari....(Tet tot lupa nama website nya), gunung ini juga masuk ke dalam salh-satu dari 4 gunung dengan padang edelweiss terindah di Indonesia disamping Gunung Gede, Pangrango, dan Rinjani. Gimana ga penasaran coba.. makannya supaya ga semakin mengawang-ngawang, langsung kita simak ceritanya.
Di suatu pagi yang cerah di kota kembang,, (hallaaaah, udah kaya dongeng aja pembukaannya). Oke, jadi gini ceritanya, jumat pagi tanggal 31 Januari 2014 bertepatan dengan libur imlek, kami berangkat dari stasiun Bandung tujuan Cicalengka menggunakan kereta api KRD Bandung. Tidak butuh waktu lama kami menumpangi kereta tersebut, satu jam kemudian kami telah sampai di stasiun Cicalengka. Disana kami memulai perkenalan satu sama lain antar anggota sambil menunggu angkot yang kami charter munuju Cisurupan, Garut.
Singkat cerita, sampailah kami di
alun-alun Cisurupan. Disini, kami berhenti lumayan lama untuk mengecek kembali
persiapan logistik dan perbekalan sambil menunggu anak laki-laki jumatan. Dari mulai
yang jumat’an, makan siang, bungkus bekal, jajan es krim, cek kelengkapan, bolak balik wc untuk sekedar
pipis, sampe yang buang air besar pun ga kalah bolak balik. Pokonya segala
aktifitas berbau kelaziman kami selesaikan disini, karena disana tidak akan
lagi kami temukan fasilitas-fasilitas umum seperti biasanya (iyalahhhhhh,
namanya juga gunuuung).
Sekitar jam 13.30 kami
melanjutkan perjalanan menuju pos pendakian yang untungnya masih bisa dijangkau
dengan kendaraan sejenis Jeep (kalo di Semeru), ya kalo di Garut sih istilahnya
Kol buntung atau Kolbak (Itu lohhh yang biasa dipakai buat ngangkut sayur atau domba
Garut tea geuning..). Luarrrr biasa sekali garinjulna
ieu jalan (= istilah untuk mengatakan jalannya rusak /jelek dalam bahasa
Garut), saking jeleknya, belum pun kami memulai pendakian, tapi rasa sakit di
badan (tepatnya pantat dan punggung) sudah lumayan terasa gara-gara goncangan
badan yang mau tak mau harus berbenturan dengan permukaan kolbak yang kami duduki. Satu jam dengan kondisi seperti itu
menjadi tidak terasa karena ketika kami nikmati perjalanan dengan penuh
guyonan, candaan dan cengkrama khas ala kami.
Lalu tibalah kami di posko
pendakian. Cuaca disini mendung, lekukan
panorama gunung pun hanya bisa kami lihat samar-samar karena tertutup gumpalan
awan hitam pembawa hujan. Semoga ramalan cuaca BMG yang mengatakan hari ini
akan turun hujan deras adalah keliru. Tapi ternyata hipotesa kami yang keliru,
tak lama setelah kami melakukan olahraga pemanasan, hujan pun turun, bubarlah
kami mencari tempat berteduh, terjadilah kegalauan antara menunggu hujan reda
atau sama sekali tak memperdulikannya. Cuma ada 2 pilihan dan kami harus
memutuskan satu, akhirnya salah satu dari kami terlibat percakapan seperti ini:
Unyil : Jangan risaukan hujan, ayo kita mulai mendaki saja..!
Usro : Tapi kan, hujannya masih deras bung.
Unyil : Ayo jangan mau kalah sama hujan, buktikan bahwa kita tangguh..!
Usro : Oh benar juga, jadi kita berangkat sekarang aja nih bung?
Unyil : Kenapa tidak, jika hujannya sudah mulai reda.
Usro : Gubraaaaakkkkk...ftftftftfttt... berlalu tanpa tanda tanya.
Ah sepertinya memang cuaca sedang
tidak bersahabat dengan kami, sekitar pukul 15.00 akhirnya kami memutuskan
untuk berangkat dan mulai menapaki jalur pendakian. Trek di awal pendakian ini
dihiasi oleh pemandangan tebing-tebing yang menjulang tinggi dan
cekungan-cekungan kawah Papandayan yang mengeluarkan bau blerang super tajam.
Perjalan kali ini rasanya begitu berisik, bunyi air hujan beradu dengan bebatuan
sisa letusan gunung yang kawahnya masih aktif bahkan sewaktu-waktu bisa meletus
lagi. Raincoat yang kami kenakan
menjadi tidak ada fungsinya, hujannya memang benar-benar ramah ingin menemani
perjalanan kami.
Hampir setengah perjalanan menuju
tempat camp (Pondok Saladah) dilalui
dengan track lumayan menanjak, full berbatu, dan tentunya berbau bangeeet.
Hujan masih turun dan kami masih melangkah, sesekali berfoto, sesekali meneguk
air mineral sebagai penghilang dahaga, dan sesekali menghentikan langkah untuk
sekedar menghela nafas panjang.
Tepat di ujung jalur kawah
bebatuan kami berpapasan dengan sekelompok pengendara motor cross yang ternyata mereka sedang ber-offroad (dari jalur manaaaa gitu lupa tapi yang pasti beda
kabupaten pokonya) hingga menembus menuju jalur bebatuan ini. Kaget juga
sebenarnya, track untuk pendakian
seperti ini bisa dilalui jalur pe-motor gila seperti mereka. Momen seperti ini
sangat sayang jika dilewatkan begitu saja, maka dari itu saya, Tami, Guntur dan
Mila menyempatkan diri untuk berpose diatas motor layaknya pengendara tangguh
ditepi tebing.
Sedikit intermezo rasanya cukup,
kami harus mendirikan tenda sebelum hari
semakin gelap. Akhirnya kami melanjutkan perjalanan. Menjelang track
selanjutnya, panorama kanan kiri sudah mulai berganti dengan barisan pohon tinggi nan rimbun yang
menghiasi tebing-tebing curam. Dari sini, konturnya terus menanjak, hanya
berupa jalur setapak., itupun sebenarnya bukan jalur khusus pendaki, tapi lebih
terlihat seberti jalur aliran air. Kami berjalan menelusuri jalur bersamaan
dengan air hujan yang mengalir sampai tepat di atas mata kaki kami. Awalnya
saya kira ini musibah, tapi setelah saya pikir-pikir lagi ini justru anugrah.
Dengan datangnya hujan ini, saya semakin menyadari bahwa tanpa hujan, semua
yang hijau ini tidak akan bisa tumbuh dan bertahan begitu indah membalut
tebing-tebing curam ini, sehingga pada akhirnya saya dan yang lain bisa
menikmati keindahan ini dengan mata telanjang. Terimakasih hujan.
Belum beres ceritanya, di
setengah perjalanan ini saya lebih banyak berjalan agak terpisah dari
rombongan, ada beberapa yang lumayan jauh di depan saya, dan kebanyakan masih
jauh di belakang saya. Bukan sengaja memisahkan diri, hanya saja saya terlalu
terlena dengan pesona tebing-tebing hijau di sekeliling yang membuat saya
terlalu sering merogoh kamera dan mengabadikan setiap momen yang saya lalui di
tengah gemercik hujan ini.
Lawang Angin, agak aneh sih
namanya, tapi inilah tempatnya. Tak terasa kami tiba di suatu padang rumput
agak lapang, ada satu bangunan disitu yang ternyata adalah posko pendakian
kedua. Posko ini biasanya diperuntukan wajib lapor bagi para pendaki yang turun
gunung. Tidak jauh dari sana, terlihat sebuah plang di pohon lengkap dengan
arah panah bertuliskan “Pondok Saladah”. Uwooooooo (ekspresi khas ala guntur)
satelah membaca petunjuk itu, saya menjadi semakin bersemangat untuk menaiki
jalur menanjak, terjal nan setapak itu.
Menanjak dan licin, tanpa turunan
sama sekali. Track kali ini harus lebih hati-hati karena di sebelah kiri jalur
sempit tersebut kami langsung disuguhi jurang curam sepanjang track,
tergelincir sedikit, salah salah kami bisa terperosok jatuh ke jurang. kami pun
fokus berjalan tertunduk sambil menajamkan mata ke arah track, dan tanpa terasa
( terasa banget sih sebenarnya) track menanjak itu tiba-tiba disulap menjadi
padang rumput lapang di depan mata kami (bukan disulap, tapi karena terlalu
fokus nunduk, jadinya ga sadar udah sampai di Pondok Saladah). “Uwoooooooo
(lagi) kita sudah sampai teman-temaaaan,,. Ayo kita cari tempat buat nge-camp.”
“Jangan disana..! ada jalur
aliran air. Jangan disini..! permukaannya ga rata. Disana saja..! biar bisa
numpang nge-api unggun ke yang lain. Disini saja, biar..., disana saja, disana
sini hatiku senang, lalalalalalala,,lalalalaaa....”
Hampir setengah jam lebih kami
berdiskusi soal tempat nge-camp. Semua orang mencari, bahkan sepertinya ada
segerombolan mata yang memperhatikan kemondar-mandiran kami, bertanya asal
muasal kami, memberi saran ini itu, sampai mengira kalo kami ini sekumpulan
anak-anak pencinta alam SMA sama seperti mereka. Juara emang, entah muka kami yang
begitu imut-imut ataukah karena pandangan mereka yang tertutup kabut saat
melihat kami. Hemm apapun itu, tapi terimakasih karena Cuma kalian yang melihat
kami sebagai remaja-remaja imut.
Sedang asiknya kita bercengkrama
dengan anak-anak SMA itu, Tami dan Chitra datang menghampiri kami. Mereka sudah
menemukan tempat nge-camp yang pas untuk kami. Saya, Tami, Yoga dan Agita
segera merapat ke TKP untuk mendirikan tenda sementara Teh Nina, Mila, Chitra,
dan Uchi datang menyusul (mungkin mereka jatuh hati pada anak-anak SMA itu).
Tenda sudah dipasang, hujan belum
begitu reda, cuaca masih berkabut, suhu udara semakin menggigit kulit, dan kami
mulai laparrrrrrr. Alhasil, kami ber-8 berdesak-desakan di 1 tenda kecil (tenda
lainnya dibawa Guntur dkk) menyantap bekal seadanya sambil menunggu Guntur dan
rombongan DNS tiba.
18:30. Saya melirik jam tangan fossil ES-3030 yang akhir-akhir ini selalu setia
menemani perjalanan saya. Tak terasa hari pun berganti menjadi malam pekat
bersamaan dengan berhentinya hujan. Hanya dingin dan perlengkapan basah kuyup
yang tersisa. Tak lama kemudian,
rombongan lainnya pun datang dan segera mendirikan tenda. Sedangkan kami yang
telah lebih dulu datang, menyalakan kompor parafin, memasak air teh atau kopi
untuk sekedar menghangatkan tenggorokan.
Malamnya, masing-masing orang
sibuk dengan aktifitas menghangatkan badan di tenda mereka massing-masing.
Tidak terkecuali dengan kami tim YKS. Kembali, di satu tenda kecil ini kami
rela berdesak-desakan untuk suatu misi rahasia, “Tiup lilin satu bulanannya YKS”, petualangan pertama YKS di akhir
desember 2013 dan malam ini kami memulai petualangan lagi di akhir januari
2014. Ucapan selamat, doa, harapan, dan tentunya obrolan gosip menjadi
pengiring indah menjelang mimpi kami di Bukit Pondok Saladah ini.
03.00. Dini hari di Pondok
Saladah. Sebagian dari kami sudah ada yang bangun, karena berdasarkan schedule sekarang adalah saatnya
persiapan menuju hutan mati, sementara sisanya masih asik dengan mimpi dan
dengkurannya. Chitra menjadi orang pertama di tenda kami yang keluar tenda, dan
entah kenapa suatu keajaiban karena saya menjadi pengikut selanjutnya (biasanya
saya selalu menjadi yang kedua terakhir dalam hal apapun), ternyata ini
gara-gara kebelet pipis, Saya cepat-cepat menyusul Chitra menelusuri semak
belukar untuk mencari “tempat cocok”.
Alhamdulillah leganya.
Tak lama setelah kami kembali,
orang-orang pun sudah mulai ramai melakukan persiapan, dari mulai masak air,
mengemas perlengkapan summit, mengenakan perlengkapan anti dingin, sarapan
roti, buang air kecil, sampai aktifitas melakukan Operasi Golok (= buang air
besar dengan cara membuat lubang menggunakan golok di semak belukar), aktifitas
tersebut entah kenapa menjadi kebiasaan Saya dan Mila akhir-akhir ini.
04.00. Saatnya kami memulai
perjalanan menuju Hutan Mati. Kenapa disebut Hutan Mati? Alasannya adalah
kalian bisa menyimpulkannya berdasarkan gambar yang sempat Saya abadikan ini.
Rawa berlumpur, becek, lembek dengan kontur yang cenderung datar. Selama
sekitar satu jam, Itulah track yang harus kami lalui hingga akhirnya kami
mendapati suatu padang kering nan tandus yang dihuni oleh batang-batang pohon
penuh ranting namun tanpa daun. Inilah Hutan Mati. Letusan Gunung Papandayan di
masa silam hanya menyisakan barisan
batang dan ranting saja.
Terkesan mengerikan bukan? Tapi
yang terlihat adalah sebaliknya, lekukan pohon-pohon itu berderet rapi menghiasi hamparan padang tandus yang jika
kita telusuri hingga ujung tebing, ada sekumpulan panorama mengejutkan yang
akan kita lihat lebih dekat.
Subhanallah. Semua yang hanya
bisa Saya lihat di coretan lukisan ternyata terpampang jelas di depan mata. Sang
fajar yang mulai mengintip dari balik puncak ditemani sekumpulan awan putih
terhampar luas sepanjang mata memandang. Jika bukan tebing curam dan cekungan
kawah yang jadi pembatas, sudah saya hampiri mereka. Ini bukan hanya dongeng, tapi benar-benar negeri
di atas awan. Allahuakbar. Engkau memang Maha Besar.
Dari sudut dimana Saya berdiri,
gumpalan putih menyerupai awan tersebut samar-samar mulai menepi dan
tergantikan dengan panorama indah di bawah sana, sepertinya semua pun
bisa Saya lihat dari sini. Bukan hanya
itu saja, ternyata Saya bisa melihat gunung-gunung lain yang ternyata berderet
membungkus negeri kelahiran saya tercinta, Garut ini.
Hampir dua jam kami bertengger di sini, di tepi
hutan mati dengan berjuta pesonanya. Dua jam sepertinya belum cukup, namun
perjalanan belum usai, kami masih harus menapaki jalur pendakian untuk mencapai
tujuan utama kami “Puncak“. Rasanya kami sudah tidak sabar menantikan keindahan
selanjutnya di Tegal Alun yang merupakan puncak gunung dengan hamparan padang
edelweissnya. Sekitar pukul 07.00 kami
mulai move on.
Perjalanan pun kini tak lagi
semudah menggapai hutan mati, kembali kami disuguhkan dengan jalur pendakian
ekstrim, berbatu, becek, dan dengan tanjakannya yang curam. Ini bukan masalah
besar, kami pernah melalui hal yang lebih ekstrim sebelum ini (sombooong yang
pernah mendaki ke Semeru). Berapa lama persisnya Saya lupa (1.5 atau 2 jam
gitu), pokoknya setelah melewati jalur yang menguras tenaga dan dahaga ini
akhirnya kami dapat menginjakan kaki di Padang Edelweiss Tegal Alun.
Ahhh entah kata-kata apalagi yang
harus saya tulis disini untuk mengungkapkan kekaguman saya terhadap apa yang
sedang saya saksikan sekarang. Jujur memang ini padang edelweiss terindah yang
pernah Saya temui. Hamparan edelweiss dengan balutan tebing yang ditumbuhi
pohon-pohon menjulang tinggi di sekelilingnya membuat saya tidak ingin cepat
beranjak dari puncak Papandayan ini. Ratusan foto mungkin telah kami simpan di
memori kamera kami masing-masing, bahkan kami pun sempat membuat video
Teletubbis karena kebetulan situasi, lokasi dan warna jaket yang kami kenakan
menyerupai 4 tokoh Teletubbis.
Orang bilang, puncak Papandayan
itu ya Tegal Alun ini, maka dari itu kami berniat ingin berfoto di belakang
tulisan “Puncak Papandayan 2665 mdpl”. Lha tapi setelah kami berkeliling, ko
belum nemu juga tulisannya.
No
picture = Hoax = Ga ada foto tulisan puncak = Ga sampe puncak.
Berbekal keyakinan tersebut,
akhirnya kami bertekad ingin mencari tulisan puncak papandayan tersebut, karena
memang beberapa orang yang sudah pernah kesini ada juga yang berhasil menemukan
tulisan tersebut. Untungnya kami bertemu
dengan sesama pendaki yang ternyata baru berhasil menemukan puncak. Selanjutnya
kami menelusuri hutan sesuai petunjuk pendaki tadi.
Nah, disinilah kesimpangsiuran
terjadi. Ketika kami mulai menelusuri jalur, kami berpapasan lagi dengan
pendaki lain yang memberi tahu bahwa mereka telah berhasil menemukan puncak
papandayan tapi dengan jalur dan posisi puncak yang berbeda dengan yang
ditunjukan pendaki pertama. Mereka sama-sama memperlihatkan foto puncak kepada
kami namun dengan lokasi dan tulisan “Puncak’ yang berbeda. Apa maksudnya semua ini??? Kondisi ini
membuat kami semakin penasaran mengubek-ngubek isi hutan ini.
Ternyata terlalu banyak jalur
disini, ini membuat semuanya semakin bingung. Akhirnya kami berpencar mengambil
jalur masing-masing yang kami yakini, tapi ternyata kami malah berputar-putar
di jalur itu-itu saja hingga pada suatu saat setelah semua orang sibuk mencari
letak persis puncak, satu orang diantara kami “Guntur” datang kembali
menghampiri kami dan mengatakan bahwa dia telah berhasil menemukan tulisan itu.
Saya, Mila, Anggun, Agita,dll yang masih mencari di jalur lain akhirnya
dipanggil-panggil supaya mengikuti jalur yang Guntur temukan.
“Teman-teman kita sudah sampai, ini
puncaknya.” Jelas memang, disitu ada batang pohon portable yang dipasang plang
bertuliskan “Puncak Papandayan” namun tulisan 2665 mdpl-nya telah terhapus.
Saya pribadi sih sebenarnya bingung harus berekspresi seperti apa, melihat
kondisi tulisan puncak yang letaknya masih lebih rendah dari tanah yang sedang
saya pijak. Haha aneh memang, tapi setidaknya ada bukti bahwa kita telah
mencapai puncak Gunung Papandayan ini.
Sesuatu yang kita yakini, itulah yang terjadi. Begitupula dengan ending
dari pertanyaan:
Unyil : Dimana sih sebenarnya puncak Gunung Papandayan?
Usro : Ya disini, tepat dimana setiap orang menyakini bahwa “sebuah
puncak dapat diraih saat kita berhasil melalui tantangan
yang kita yakini bisa melaluinya.
No comments:
Post a Comment
Silahkan komen di bawah ya :)