Thursday, April 16, 2015

Singapore Trip Part II (Episode 2)

Supaya nyambung, mending baca yang Episode 1 nya dulu Singapore Trip Part 2 (Episode 1)
Nah kalo yang itu udah hatam, baru deh baca yang ini.

The Lazy Traveller
Day-2 :  Berkesempatan Mengunjungi Salah Satu Jembatan Pejalan Kaki Terindah Didunia

Jumat, 30 Januari 2013. Setelah melakukan aktivitas yang panjang dan menyenangkan seharian kemarin, mulai dari touchdown di Changi Airport, menuju hostel di Chinatown, memulai perjalanan menuju Santosa Island, menikmati berbagai wahana dari mulai yang biasa saja sampai yg absurd sekalipun, panas-panasan, naik MRT, jalan kaki sampai kaki lecet, bungkus makan ke hostel, mandi di kamar berukuran minim, gani baju, ganti celana, ganti daleman (ban dalem kali ah), selonjoran di kasur, sampai mata pun ikut selonjoran deh akhirnya. Bye yesterday, hari ini dapat dipastikan bahwa kami akan lebih semangat dari hari kemarin, karena inilah cara kami menikmati hidup..! this is my Rule Meeen....-Welcome to My Life-  (langsung nyanyi ala Simple Plan keselek kresek)


08:00. Sebenarnya ini terang-terangan memperlihatkan ke-lazy traveller-an kami. Barangkari lupa, kami disini terdiri dari Geng Guee (Saya, Icad, Massa, Dhika, Mba Ian) dan Ridha Cees (Ridha, Nizar, Mba Niar, dan Rapi), sedangkan sisanya (Mike, Teguh, Rizwan, Wulan) lagi sibuk menjadi gembel kece di Malaysia.

Jika biasanya seorang traveller selalu bersemangat bangun pagi karena ada banyak tempat yang ingin dia kunjungi, nah justru berbeda dengan kami yang begitu susah bangun pagi, membuka selimut, bangkit dari tempat tidur, menuju kamar mandi, dan langsung menghampiri sarapan pagi.  Inilah kenapa kami disebut Lazy Traveller. Butuh waktu berjam-jam untuk membuat kami sadar total bahwa ini bukan bangun tidur seperti akhir pekan – akhir pekan biasanya, malas bangun karena takut disuruh beres-beres rumah sama mamah, atau malas bangun karena semalaman begadang ngeboyong kerjaan kantor ke rumah, atau malas bangun karena balas dendam tiap hari harus bangun pagi biar ga telat kuliah. Bukan bukan woooyyy,, ini bukan weekend biasa, sadarrrr wooyyy,, ini bakal jadi salah-satu weekend terseru kamu..!!! eh gila beneran dong ini Saya lagi liburan. Dan atas kesadaran diri saya yang paling dalam, Saya pun bangun, buka jendela, melirik pemandangan pagi di sepanjang Pagoda Street yang penuh dengan lampion dan dekorasi serba merah, menikmatinya dengan damai, lalu tidur lagi. Kampret ini belek di mata lengket banget susah kebuka.

Di halaman yang berfungsi sebagai dapur, tersedia satu set kompor gas (gas apa listrik sih lupa ), ada kulkas, mikrowafe, lemari gantung, dispenser segala isi (tinggal pencet mau kopi, milo, capuccino, latte, atau Cuma air putih) rak piring, wastafel yang diletakkan berdekatan dan sejajar dengan pintu. Sekitar 1 meter di seberangnya ada sebuah meja persegi tanpa taplak, diatasnya penuh dengan hidangan pagi seperti roti lengkap dengan pemanggangnya, sereal, selai, gula, susu, margarin, garpu, pisau, gunting, obeng, baud, paku, palu, kunci inggris, amplas (sekalian aja buka bengkel reparasi otak).

Satu persatu dari kami mulai duduk di bangku kosong (itu judul pelm hantu woooy) dan mulai menyantap segala macem yang tersedia di meja, termasuk perkakas-perkakas bengkel tadi. Ada sekitar 5 set meja dan kursi kayu disana.

Satu lagi, wc nya. Wc berdimensi sekitar 1x1x1 m (kandang marmut kali ah) menjadi tujuan kami selanjutnya setelah sarapan. Ya, buang hajat, buang tisyu, buang sabun, buang aer, dan buang-buang waktu pastinya.

10:30. Kali ini tujuan jalan-jalan kami adalah Henderson Waves Bridge. Apakah itu Henderson Waves Bridge?? (yaelah dari judulnya aja udah ketauan kalo itu tuh jembatan). Kita lihat nanti deh, pokoknya dari hostel ini, kami menuju ke stasiun MRT yang ada di Chinatown menuju arah Telok Blangah.

11:00. Berhenti di stasiun Telok Blangah, selanjutnya kami berjalan kaki sekitar 1 km menuju halte bis, ada bis cantik yang akan membawa kami ke Henderson Waves. Nah di bis ini, kamu tidak perlu repot-repot mengeluarkan koin SGD kamu, cukup menempelkan EZ Card kamu saja (ada saldonya tapi yesss, sekali lagi –ADA SALDONYA-).


Perjalanan dari Telok Blangah menuju Halte Bis via Henderson Road

Hanya dalam waktu 10 menit saja, kita sudah dapat turun dari bis. Jangan lupa tempelkan kembali EZ Card kamu ke alat sensor di pinggir pintu keluar, soalnya kalo engga, kamu dianggap tidak membayar, dan kamu akan dikenakan denda yang langsung dipotong dari saldo EZ Card kamu. Entah berapa dendanya, tapi yang pasti malu-maluin deh, soalnya di EZ Card kamu nantinya akan ada catatan khusus, nah kalo keseringan itu bisa jadi catatan kriminal lho. Makannya dikasih tau dari sekarang nih biar ga lupa, biar ga ngelakuin kesalahan yang sama kaya temen Saya, bukan temen sih sebenernya, tapi Saya sendiri wakakakakkk (yah namanya juga manusia, tidak luput dari Khilaf dan Bego).


Ini yang Saya Maksud Bis Cantik via Henderson Road, banyak tiangnya, lumayan buat gelantungan

11:10. Henderson Waves Bridge, sebuah jembatan khusus pejalan kaki yang disebut-sebut merupakan salah satu jembatan terindah di dunia. Menurut sumber yang dilansir dari  http://travelawan.com/blog-travel/henderson-waves-sebuah-jembatan-cantik-di-singapura.html,  jembatan ini memiliki tinggi lebih dari 60 meter di atas permukaan laut dengan panjang sekitar 274 meter, jembatan ini menghubungkan Mount Faber Park dengan Telok Blangah Hill Park. Merupakan hasil desain dari IJP Corporation, London dan RSP Architects Planners and Engineers (PTE) ltd., Singapura. Diresmikan oleh Perdana Menteri Singapura, Lee Hsien Loong dan mulai dibuka untuk umum pada tanggal 10 Mei 2008.

Nah tadi kan kita udah turun dari bis nih, yaudah deh jembatan Henderson tepat berada di atas kita. Di langit??  Bukan lahhhhh,, ya sekitar 40 meteran lah dari permukaan Henderson Road. Lah terus gimana caranya keatas dong? Ya naek tangga lah begoooo.

Dari halte pemberhentian Henderson Road, kamu tinggal menyebrangi jalan, lalu menaiki puluhan anak tangga yang tersedia disana, kemudian kamu akan menemukan 3 percabangan jalan (entah kemana aja skip), pokoknya ambil percabangan ke kiri, lurus dan sedikit menanjak, terus belok ke kiri lagi, maka kamu pun akan melihat tulisan besar yang nemplok di dinding “Henderson Waves”. Ini nih penampakannya:




Tuh ada plang ke arah Henderson Waves

Yang ini baca aja sendiri

View Henderson Waves dari Bawah

Tukang bersih-bersih kebun di Henderson Waves

Sejarah dan Penjelasan Proses Kontruksi Henderson Waves

Penampakan  Pelat Lantai Henderson Waves Pelat 

Penampakan Sepasang Sepatu di Henderson Waves

Penampakan Henderson Road dari atas Henderson Waves

Penampakan 5 orang Tim Super Rusuh di Henderson Waves
(Kiri: Dhika, Ichad, Mba Ian, Massa, Ana)

Benar memang, bentuk jembatan ini unik juga. Rangka baja yang merupakan bagian struktur utamanya didesain melengkung beraturan ke arah vertikal membentuk liukan seperti ombak (apa ular ya?, atau lele..?). Jika gelagar memanjang, melintang, bracing, dan main structure menggunakan rangka baja sebagai materialnya, maka berbeda dengan pelat lantai dan art structure-nya yang memilih kayu sebagai material yang digunakan. Warna dan pola serat kayu yang cenderung artistik menjadi pilihan tepat dalam mendesain jembatan pedestrian ini. Tidak hanya pelatnya saja, bahkan sang insinyur (ga mau bilang ini buatan arsitek) membuatkan undakan sebagai tempat bersantai para pengunjung dengan kayu-kayu cantik yang meliuk-liuk keatas sampe ke awan sampe ke langit ke-7 (lu pikir ini peristiwa isra mi’raj).

Malem hari, itu waktu yang paling bagus ngeliat jembatan ini. Ada lampu kuning menyala-nyala membalut seluruh lekukan jembatan. Tadinya kami berniat kesini lagi sih malamnya, cuma nyatanya hanya sekedar fiktif belaka. Ini nih penampakan Henderson Waves di malam hari yang Saya comot dari google.


http://www.worldtoptop.com/wp-content/uploads/2011/05/henderson_waves_bridge_2.jpg

http://nexttriptourism.com/henderson-waves-bridge-suitable-for-roads-in-singapore-1/images-henderson-waves-bridge-suitable-for-roads-in-singapore/

Aduh ga akan beres dikupas di bab ini doang deh kalo soal detail dan struktural jembatannya (Secara kerjaan ane ngitung2 jembatan gan, ngitung berapa banyak maksudnya..). Skip deh,, intinya kami pun puas jalan-jalan, lari, jungkir jumpalik meng-eksplore jembatan ini.  Saking enjoynya banget banget, sampe setengah sadar kalo ini tuh jumat lho (sekali lagi – JUMAT- Jumataaaan Wooooyyyyy). #buruburunyarimesjid #langsungsolattobatdimall

13:00. Laper meeen. Akhirnya kami memutuskan untuk menjajaki kuliner Singapura di Vivo Mall. Kamu tau makanan apa yang kami pesan? Nasi padang. Hahahaha jauh-jauh kesini ketemunya Rendang Saiyo juga, cuma yang jualnya bukan si Uda atau Uni, tapi emaknya si Upin Ipin.


Padang lagi Padang lagi
14:00. Tuntas menyalurkan hasrat tak terbendung, kami pun (oh iya lupa bilang, kami di Henderson udah beda sama kami disini, karena ternyata Ridha and the gank memutuskan bercerai dengan Saya dan yang lain), mereka lebih memilih menghambur-hamburkan uang mereka di Orchard daripada berbaur dengan alam bersama Saya, Ichad, Massa, Dhika, dan Mba Ian.  Jadi yang sekarang kami (ingat! Saya, Ichad, Massa, Dhika, dan Mba Ian) lakukan adalah pergi meluncur menuju Botanical Garden. Hanya sekali saja naik MRT ke arah Botanical Garden, kamu sudah akan tiba di taman hijau (lebih hijau taman safari sih) nan sejuk (sumpah panas banget) nya Singapura. Tapi bagusnya taman disini tuh emang tertata banget, bersih banget, dan terawat banget pastinya. Taman disini terbagi kedalam blok-blok berdasarkan fungsi dan habitatnya, ada blok tanaman dan pepohonan yang dilindungi, ada blok bunga-bunga warna warni, ada danau luas yang dihuni para angsa dan ikan-ikan, ada rumput hijau yang banyak disinggahi ratusan merpati, ada saung-saung dan bangku-bangku yang diperuntukan buat para pengunjung, ada juga kandang-kandang kosong yang diperuntukan buat kami, lhooo?..


Penampakan plang petunjuk arah Botanical Garden

Pose Saya berfoto di samping plang petunjuk arah Botanical Garden

Pose Saya memeluk plang petunjuk arah Botanical Garden memakai sendal capit (setelah kaki lecet karena salah pake sepatu)

Pose Saya berpura-pura menikmati hamparan rumput di  Botanical Garden 

Penampakan danau di Botanical Garden

Dua jam menjadi tidak terasa karena kami disana hanya duduk-duduk di bawah  pohon di bibir danau, lalu tidur.


Penampakan Tim Rusuh sebelum skip tidur depan danau

16:00. Rasanya perjalanan di hari yang cerah untuk jiwa yang tenang ini sekian. Saatnya kami berpulang dulu ke hostel untuk mandi, rehat, meluruskan kaki, meluruskan jalan dan bertobat. Okay, berangkatlah kami ke Pagoda Street.

16:30. Ngebangke. Skip.

19:00. Saya tiba-tiba tersadar sudah tidak berbusana, Saya kaget dan lalu terperanjat, apa yang telah Saya lakukaaaaaan??.. oh ternyata Saya sedang mandi (Lega, loncat-loncat, terus gelantungan di tiang shower). Semales-malesnya kami, tapi kami masih punya semangat 45 kok buat berburu belanjaan (yaelaaaaa, giliran belanja aja semangat banget).  Setelah kami bersiap-siap, berangkatlah kami menuju Orchard, sebuah pusat peradaban super modern-nya  Singapore (Ya ga beda jauh sama Pasar Baru atau Tanah Abang lah yah). Pusatnya Barang-barang branded, maka tak heran bila Orchard ini menjadi destinasi utama para shopaholic yang berkunjung ke Singapore.


Plang Orchard Road

Tugu Orchard Road

Begitupun dengan kami, semangat berburu, melihat-lihat, mencari-cari barang-barang mahal yang kami inginkan, kemudian hanya mampu berfoto saja (itu pun di depan tokonya). Eh bukan karena kami ga bisa beli lho, tapi kalo namanya backpacker sejati sihh haram beli yang begituan (ngelessss mulu sih bisanya). Kami kesini sebenarnya sih Cuma punya 1 tujuan mulia, yaitu mencicipi es krim 1 dolar, meskipun sihh sebenarnya di Bandung juga udah banyak, Orchard Ice Cream namanya. Ahhh peduli amat, pokoknya dulu pas dua tahun lalu kesini nyicipin es krim itu enak bangeett, trus mau mengenang lagi kenikmatan es krim itu lagi. Udah itu doang. Titik.


Es krim ternikmat sedunia

Oh iya, di sela-sela pencarian es krim ternikmat sedunia, kami pun sempat mampir ke sebuah toko sepatu laris manis murah meriah di Orchrad, katanya sih sepatu ini lagi booming banget di dunia per-instagraman Indonesia. Yaudah deh biar kekinian kaya kaula muda sosmed, Saya pun memilih dua pasang sporty flatshoes warna biru dan merah. Dua sepatu yang Saya beli dibandroli SGD$30, sedangkan untuk flatshoes atau teplek biasa itu kamu bisa dapet 3 pasang dengan hanya  SGD$30. Hayo tebak apa merk sepatu nya??.

Cukup melelahkan sih sebenarnya, berjalan-jalan hampir 3 jam Cuma buat nyocol eksrim doang. Haha, sebenarnya yang bikin lama adalah di bagian pas milih-milih sepatu tadi, lamaa banget. Tapi itulah sih wanita, se-kumisan apapun, dia tetaplah wanita, punya naluri memilih dan menimbang yang tinggi. 

22:00. Back to hostel, dan ngisi perut di Mcd Chinatown dulu, rencananya. Dan rencana itu terlaksana oleh semua teman-teman, kecuali Saya, ada something stupid yang Saya lakukan disela-sela saat mereka sedang memesan burger di Mcd. Hingga akibatnya, akan muncullah sub judul baru dari cerita bersambung ini, “ LOST IN CHINATOWN”. Nah bagian memalukan itu akan Saya ceritakan di judul yang berbeda. On progress ya.


Pas lagi lost in Chinatown, sempet-sempetnya Saya ngambil gambar ini
Begini saja, karena Saya tak ada di tempat yang semestinya bersama mereka, jadi anggap saja jam 23.00 kami sudah ada di kasur masing-masing untuk bermimpi indah, kali ini bukan dengan Albert, tapi dengan emm... dengan... sebut saja Solehudin (aduh lupa namanya), penghuni baru kamar kami yang menempati tempat tidur Albert, ternyata dia masih sebangsa dengan Albert, kebetulan sekali, kemampuan berbaha Inggrisnya juga sama seperti Albert, mungkin mereka kembar. 


Ananuranita
Photo by : Dhika, Ichad, Ryan, Massa, Ana

Monday, April 13, 2015

Rasa yang Kumplit dari Gunung Lawu






Gunung Lawu merupakan salah satu Gunung yang berada di wilayah perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Gunung ini memiliki ketinggian sekitar 3265 meter diatas permukaan laut (MDPL) dengan kawah yang masih mengeluarkan uap air dan bau belerang.  Ada banyak jalur yang biasa digunakan para pendaki untuk mencapai Puncak Argo Dumilah-nya, salah satunya adalah jalur Cemoro Sewu dengan ketinggian pos awal 1600 MDPL. Jalur ini sudah masuk wilayah Sarangan, Jawa Timur, selisih sekitar 200 meter dengan jalur Cemoro Kandang yang berada di Tawangmangu, Jawa Tengah.

Oh ya, kenapa kami memilih jalur Cemoro Sewu? Karena jalur ini memiliki jarak tempuh lebih cepat dibanding jalur lainnya. Waktu singkat di akhir pekan yang kami miliki membuat kami membutuhkan jarak track yang lebih singkat. Jarak yang lebih singkat tentunya dengan medan yang lebih berat dan track berbatu yang selalu curam.

Jumat, 29 Agustus 2014 kami memulai perjalanan kami dari Bandung menggunakan Kereta Api Kahuripan dengan pemberangkatan pukul 20.05 WIB. Ada sedikit hal epic yang kami lalui disini. Saya dan beberapa anggota tim terjebak pada antrian yang cukup panjang saat menukar tiket, alhasil kami nyaris dibuat kaget karena kereta yang akan kami tumpangi sudah mulai memacu kecepatannya. Kami pun sontak teriak “Tungguuuuu.....!!!!” dan berlari mengejar kereta sampai-sampai bapak petugasnya memberikan instruksi “Halo Halo bla bla bla...” kepada masinis melalui alat komuikasinya. Puji Tuhan kami masih diberi kesempatan, dengan nafas tersengal-sengal kami pun lekas naik kereta dan mencari kursi kami. Yasssss, dan setelah itu perjalanan menyenangkan dimulai.

Team Kacrut Pendakian Lawu

Sabtu pagi, pukul 05.34 kami sudah tiba di Stasiun Purwosari, Solo. Dari sini, kami sudah ditunggu oleh rekan kami yang akan menemani perjalanan kami ke Gunung Lawu. Adalah AMBEMWATI, kelompok pecinta alam asal Solo yang beberapa anggotanya adalah Mas Sofyan, Mas Bison, dan Mas Samto. Sebenarnya ini bukan kali pertama kami bergabung bersama mereka, sebelumnya saat pendakian Merbabu Mei lalu pun kami ditemani mereka. Jadilah kami 25 pendaki dari bandung ditambah 3 orang putra Solo. Omprengan telah datang, kami pun bergegas menumpangi angkutan tersebut menuju Posko Pendakian Cemoro Sewu.

Sekitar 2 jam perjalanan, kami sudah sampai di posko pendakian jalur Cemoro Sewu. Siang itu, setelah selesai mengurus administrasi, masing-masing dari kami sibuk melakukan berbagai macam persiapan pra-pendakian. Ada yang makan, re-packing, beli perlengkapan logistik, buang air, olahraga pemanasan, dan foto-foto pastinya.

Gerbang pendakian Gunung Lawu via Cemorosewu

Cerita asal muasal Gunung Lawu ( Baca aja di google)


Breafing sebelum mulai tracking


Hari yang cerah untuk melakukan pendakian. Matahari sudah berdiri hampir tepat diatas kepala kami, itu berarti saatnya kami memulai pendakian. Ada 5 pos yang harus kami singgahi. Dari pos awal ini kami berjalan sekitar 1.5 jam supaya tiba di Pos 1. Oh ya, track yang kami lalui dari pos awal menuju pos 1 ini berupa jalur berbatu dengan kontur menanjak ditemani gundukan pohon cemara disana-sini. Itulah kenapa nama jalur ini Cemoro Sewu. Setelah melewati barisan pohon Cemara, kami menjumpai ilalang dan ladang yang ditumbuhi sayur-sayuran. Sebelum tiba di Pos 1, kami mendapati suatu sumber mata air yang sekaligus sebagi sumber mata air terakhir yang akan kami temui. Orang bilang namanya Sumber Air Wesanan. Sebagian besar dari kami pun berhenti sejenak untuk menunaikan solat dzuhur dijamak dengan ashar.

track menuju Pos 1 (masih banyak bonusnya)


Kesibukan Saya, Teh Nina, Agita, dan Mas Sopian disela-sela waktu Dzuhur (ga paham lagi)

Sampai di Pos 1, ada pemandangan unik yang tak pernah saya lihat di gunung manapun sebelumnya, tempe mendoan hangat. Ini mendoan bukan sembarang mendoan, ini mendoan Cuma ada di Gunung Lawu, di tengah hutan meeeeeen. Udah ga ngerti lagi apa yang si mbok pikirin sampe dia jualan tiap hari disini. Saking penasarannya saya sampe mewawancarainya (liputan video dan cuplikan wawancaranya tar nyusul yah).  Dua biji mendoan sebenarnya belum cukup untuk saya, tapi berhubung mendoannya limited edition (udah berasa ngeburu sepatu converse buy one get one spesial 17-an aja) jadinya ya sudah, kami mulai memacu langkah kembali menuju pos 2.

Mendoan paling enak se-alam dunia

Kali ini, track yang ditempuh dari Pos 1 menuju Pos 2 memiliki waktu dan jarak tempuh super panjang diantara pos-pos lainnya. Track berbatu yang semakin lama semakin sempit, curam dengan kemiringan tajam menjadi satu-satunya pilihan yang harus kami tempuh. Sekitar 2.5 jam waktu yang kami habiskan untuk sampai di Pos 2. Tumbuhan di sekitar track ini lebih didominasi oleh pepohonan jangkis sejenis pakis dengan ranting-ranting yang gersang, sehingga panas matahari terasa begitu membakar kulit. Tapi tidak perlu khawatir, disini kita dapat memetik buah-buahan ala Hutan sesuka hati. Sepanjang track ini banyak sekali dijumpai pohon-pohon dengan buahnya yang merah merona, namanya Arben dan Murbey. Kombinasi rasa manis dan asamnya dapat menjadi penyegar dahaga di tenggorokan.

Ini namanya Murbey 


Sehabis tanjakan curam, di sebelah kiri tebing batu raksasa, ada sebuah saung beratap utuh, itulah Pos 2. Saya lekas melepas gembolan hijau yang sedari tadi menempel di punggung, menyandarkan diri ke sebuah batu besar, meluruskan kaki, dan mulai menghela nafas sepanjang-panjangnya. Wahh segar sekali udara disini...

Track menuju Pos 2

Foto duluuuuuu lahhhh


Selang 15 menit, saya dan teman-teman kembali bangkit dan mulai berjalan. Pos 3, tujuan kami selanjutnya. Sore itu, ketika kami sudah sampai di pos 3, kami memutuskan untuk membuka bekal kami. Nasi rames menjadi menu makan sore yang kami beli dari posko pendakian siang tadi. Pemandangan hijau dari atas gunung, dihiasi gumpalan kabut putih di sela-sela bukit melengkapi suasana makan kami yang begitu mengesankan. Saya merasa tidak ingin beranjak dari momen ini, indah sekali melihat gumpalan kabut itu, ingin rasanya saya melemparkan diri saya kesana lalu berguling-guling diatasnya. Namun lamunan saya tetiba terusik ketika seorang teman mengajak kami untuk segera berkemas, karena ternyata udara segar tadi secara drastis berubah menjadi udara super dingin yang akan semakin terasa dingin jika kami tidak segera menggerakan badan kami. Sekitar pukul 17.00, lalu kami pun melanjutkan perjalanan kami menuju pos 4.

Track menuju Pos 3

Menyaksikan indahknya gumpalan kabut di sore hari

Foto lagi laahhhh


Track menanjak dengan konstan, berbanding terbalik dengan suhu yang menurun secara drastis. Menuju Pos 4 ini, kami berada pada transisi waktu antara siang dan malam, lembayung merah merona samar-samar muncul mengantarkan sang penerang jagad pulang ke peraduannya. Ah saya tak mampu mendeskripsikan secara verbal apa yang saya rasakan pada waktu itu, campur aduk antara lelah dan kekaguman yang kian megah terhadap apa yang gunung ini sajikan kepada para tamunya. Tidak lama larut dalam pemandangan indah gunung ini, kami sadar gelap mulai datang, saya segera memasang headlamp, mengenakan mantel, kupluk, dan sarung tangan saya. Begitu pun yang lain, di pos 4 ini kami gunakan waktu istirahat kami untuk bersiap-siap melakukan aktifivitas pendakian malam, aktivitas yang menurut saya memiliki tantangan tersendiri, karena sebisa mungkin  kita harus tetap mempertahankan kondisi badan kita yang semakin lelah dengan suhu dingin ekstrim dan pandangan yang terhalang oleh pekatnya gelap.

Menyaksikan lembayung merah merona pertanda malam datang


Jadi ceritaya Saya pun menjadi salah-satu orang yang akan segera tersingkir gara-gara kondisi cape, berat, dan dingin yang campur aduk menggaggu kinerja organ tubuh saya.  Semakin naik semakin sulit rasanya bagi saya dan beberapa yang lain untuk mengangkat kaki. Beban gembolan ini rupanya lumayan mengganggu, untuk mengatur nafas saja saya harus berhenti beberapa saat, hingga pak ketua kelompok, Guntur namanya, Ia pun turun tangan membantu membawa carrier saya.  Padahal tak lama kemudian, ternyata Pos 5 sudah ada di depan mata.  Kembali semangat saya naik lagi saat saya dihadapkan pada kilauan lampu-lampu malam bumi Jawa jauh di bawah sana. Teh Syifa, salah satu dari tim kami yang pernah ke Gunung ini sebelumnya, dia bilang tempat camp nya sudah dekat, disana ada area datar dan sedikit lapang yang bisa kami gunakan untuk membangun tenda. Malah katanya disana ada warung yang menyediakan peyek dan nasi hangat setiap saat. Waaaw Cuma ada di Gunung ini, warung  di setengah jam menuju puncak. Warung Mbok Yem namanya, terkenal sampe kemana-mana. Lalu tanpa berlama-lama, kami segera bergegas memacu langkah menuju tempat tersebut.  

Sekitar setengah jam kemudian, kami akhirnya berhasil menyusul 3 orang teman kami (porter mungkin lebih tepatnya) yang sudah terlebih dahulu sampai. Tibalah kami di suatu area datar sedikit luas, nampak beberapa tenda berjejer. Sebuah warung dengan ukuran panjang dikali lebar yang cukup luas berada di sebelah kanan area tenda-tenda tadi. Bukan bohong ternyata, di tengah hutan diatas gunung seperti ini ternyata ada warung. Berarti mbok-mbok judes yang sedang mengalaskan nasi ke piring itu adalah Mbok Yem???

Jawabannya ternyata ya tapi bukan. Ya, ya itu mbok-mbok. Tapi bukan, itu bukan Mbok Yem yang kami maksud. Ada lagi Satu Warung tepat Puncak Hargo Dumilah sana, itu baru Mbok Yem yang asli. Nasi hangat ditemani peyek dan pecel buatan beliau biasanya menjadi incaran utama para pendaki setelah puncak. Wenak tenaaaaan kalo kata orang sini.

Ah sudahlah, walau ini bukan Warung Mbok Yem, tapi kami pikir tak ada salahnya kami membangun tenda disini, lagipula sudah terlalu dingin, baiknya kami segera beristirahat supaya dini hari kami bisa summit attack. Selamat tidur. (bersambung)


Ini nih penampakan yang bikin berisik Gunung Lawu


Ananuranita
Photo by: Agita, Mas Imam, Guntur, Ana