Monday, April 13, 2015

Rasa yang Kumplit dari Gunung Lawu






Gunung Lawu merupakan salah satu Gunung yang berada di wilayah perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Gunung ini memiliki ketinggian sekitar 3265 meter diatas permukaan laut (MDPL) dengan kawah yang masih mengeluarkan uap air dan bau belerang.  Ada banyak jalur yang biasa digunakan para pendaki untuk mencapai Puncak Argo Dumilah-nya, salah satunya adalah jalur Cemoro Sewu dengan ketinggian pos awal 1600 MDPL. Jalur ini sudah masuk wilayah Sarangan, Jawa Timur, selisih sekitar 200 meter dengan jalur Cemoro Kandang yang berada di Tawangmangu, Jawa Tengah.

Oh ya, kenapa kami memilih jalur Cemoro Sewu? Karena jalur ini memiliki jarak tempuh lebih cepat dibanding jalur lainnya. Waktu singkat di akhir pekan yang kami miliki membuat kami membutuhkan jarak track yang lebih singkat. Jarak yang lebih singkat tentunya dengan medan yang lebih berat dan track berbatu yang selalu curam.

Jumat, 29 Agustus 2014 kami memulai perjalanan kami dari Bandung menggunakan Kereta Api Kahuripan dengan pemberangkatan pukul 20.05 WIB. Ada sedikit hal epic yang kami lalui disini. Saya dan beberapa anggota tim terjebak pada antrian yang cukup panjang saat menukar tiket, alhasil kami nyaris dibuat kaget karena kereta yang akan kami tumpangi sudah mulai memacu kecepatannya. Kami pun sontak teriak “Tungguuuuu.....!!!!” dan berlari mengejar kereta sampai-sampai bapak petugasnya memberikan instruksi “Halo Halo bla bla bla...” kepada masinis melalui alat komuikasinya. Puji Tuhan kami masih diberi kesempatan, dengan nafas tersengal-sengal kami pun lekas naik kereta dan mencari kursi kami. Yasssss, dan setelah itu perjalanan menyenangkan dimulai.

Team Kacrut Pendakian Lawu

Sabtu pagi, pukul 05.34 kami sudah tiba di Stasiun Purwosari, Solo. Dari sini, kami sudah ditunggu oleh rekan kami yang akan menemani perjalanan kami ke Gunung Lawu. Adalah AMBEMWATI, kelompok pecinta alam asal Solo yang beberapa anggotanya adalah Mas Sofyan, Mas Bison, dan Mas Samto. Sebenarnya ini bukan kali pertama kami bergabung bersama mereka, sebelumnya saat pendakian Merbabu Mei lalu pun kami ditemani mereka. Jadilah kami 25 pendaki dari bandung ditambah 3 orang putra Solo. Omprengan telah datang, kami pun bergegas menumpangi angkutan tersebut menuju Posko Pendakian Cemoro Sewu.

Sekitar 2 jam perjalanan, kami sudah sampai di posko pendakian jalur Cemoro Sewu. Siang itu, setelah selesai mengurus administrasi, masing-masing dari kami sibuk melakukan berbagai macam persiapan pra-pendakian. Ada yang makan, re-packing, beli perlengkapan logistik, buang air, olahraga pemanasan, dan foto-foto pastinya.

Gerbang pendakian Gunung Lawu via Cemorosewu

Cerita asal muasal Gunung Lawu ( Baca aja di google)


Breafing sebelum mulai tracking


Hari yang cerah untuk melakukan pendakian. Matahari sudah berdiri hampir tepat diatas kepala kami, itu berarti saatnya kami memulai pendakian. Ada 5 pos yang harus kami singgahi. Dari pos awal ini kami berjalan sekitar 1.5 jam supaya tiba di Pos 1. Oh ya, track yang kami lalui dari pos awal menuju pos 1 ini berupa jalur berbatu dengan kontur menanjak ditemani gundukan pohon cemara disana-sini. Itulah kenapa nama jalur ini Cemoro Sewu. Setelah melewati barisan pohon Cemara, kami menjumpai ilalang dan ladang yang ditumbuhi sayur-sayuran. Sebelum tiba di Pos 1, kami mendapati suatu sumber mata air yang sekaligus sebagi sumber mata air terakhir yang akan kami temui. Orang bilang namanya Sumber Air Wesanan. Sebagian besar dari kami pun berhenti sejenak untuk menunaikan solat dzuhur dijamak dengan ashar.

track menuju Pos 1 (masih banyak bonusnya)


Kesibukan Saya, Teh Nina, Agita, dan Mas Sopian disela-sela waktu Dzuhur (ga paham lagi)

Sampai di Pos 1, ada pemandangan unik yang tak pernah saya lihat di gunung manapun sebelumnya, tempe mendoan hangat. Ini mendoan bukan sembarang mendoan, ini mendoan Cuma ada di Gunung Lawu, di tengah hutan meeeeeen. Udah ga ngerti lagi apa yang si mbok pikirin sampe dia jualan tiap hari disini. Saking penasarannya saya sampe mewawancarainya (liputan video dan cuplikan wawancaranya tar nyusul yah).  Dua biji mendoan sebenarnya belum cukup untuk saya, tapi berhubung mendoannya limited edition (udah berasa ngeburu sepatu converse buy one get one spesial 17-an aja) jadinya ya sudah, kami mulai memacu langkah kembali menuju pos 2.

Mendoan paling enak se-alam dunia

Kali ini, track yang ditempuh dari Pos 1 menuju Pos 2 memiliki waktu dan jarak tempuh super panjang diantara pos-pos lainnya. Track berbatu yang semakin lama semakin sempit, curam dengan kemiringan tajam menjadi satu-satunya pilihan yang harus kami tempuh. Sekitar 2.5 jam waktu yang kami habiskan untuk sampai di Pos 2. Tumbuhan di sekitar track ini lebih didominasi oleh pepohonan jangkis sejenis pakis dengan ranting-ranting yang gersang, sehingga panas matahari terasa begitu membakar kulit. Tapi tidak perlu khawatir, disini kita dapat memetik buah-buahan ala Hutan sesuka hati. Sepanjang track ini banyak sekali dijumpai pohon-pohon dengan buahnya yang merah merona, namanya Arben dan Murbey. Kombinasi rasa manis dan asamnya dapat menjadi penyegar dahaga di tenggorokan.

Ini namanya Murbey 


Sehabis tanjakan curam, di sebelah kiri tebing batu raksasa, ada sebuah saung beratap utuh, itulah Pos 2. Saya lekas melepas gembolan hijau yang sedari tadi menempel di punggung, menyandarkan diri ke sebuah batu besar, meluruskan kaki, dan mulai menghela nafas sepanjang-panjangnya. Wahh segar sekali udara disini...

Track menuju Pos 2

Foto duluuuuuu lahhhh


Selang 15 menit, saya dan teman-teman kembali bangkit dan mulai berjalan. Pos 3, tujuan kami selanjutnya. Sore itu, ketika kami sudah sampai di pos 3, kami memutuskan untuk membuka bekal kami. Nasi rames menjadi menu makan sore yang kami beli dari posko pendakian siang tadi. Pemandangan hijau dari atas gunung, dihiasi gumpalan kabut putih di sela-sela bukit melengkapi suasana makan kami yang begitu mengesankan. Saya merasa tidak ingin beranjak dari momen ini, indah sekali melihat gumpalan kabut itu, ingin rasanya saya melemparkan diri saya kesana lalu berguling-guling diatasnya. Namun lamunan saya tetiba terusik ketika seorang teman mengajak kami untuk segera berkemas, karena ternyata udara segar tadi secara drastis berubah menjadi udara super dingin yang akan semakin terasa dingin jika kami tidak segera menggerakan badan kami. Sekitar pukul 17.00, lalu kami pun melanjutkan perjalanan kami menuju pos 4.

Track menuju Pos 3

Menyaksikan indahknya gumpalan kabut di sore hari

Foto lagi laahhhh


Track menanjak dengan konstan, berbanding terbalik dengan suhu yang menurun secara drastis. Menuju Pos 4 ini, kami berada pada transisi waktu antara siang dan malam, lembayung merah merona samar-samar muncul mengantarkan sang penerang jagad pulang ke peraduannya. Ah saya tak mampu mendeskripsikan secara verbal apa yang saya rasakan pada waktu itu, campur aduk antara lelah dan kekaguman yang kian megah terhadap apa yang gunung ini sajikan kepada para tamunya. Tidak lama larut dalam pemandangan indah gunung ini, kami sadar gelap mulai datang, saya segera memasang headlamp, mengenakan mantel, kupluk, dan sarung tangan saya. Begitu pun yang lain, di pos 4 ini kami gunakan waktu istirahat kami untuk bersiap-siap melakukan aktifivitas pendakian malam, aktivitas yang menurut saya memiliki tantangan tersendiri, karena sebisa mungkin  kita harus tetap mempertahankan kondisi badan kita yang semakin lelah dengan suhu dingin ekstrim dan pandangan yang terhalang oleh pekatnya gelap.

Menyaksikan lembayung merah merona pertanda malam datang


Jadi ceritaya Saya pun menjadi salah-satu orang yang akan segera tersingkir gara-gara kondisi cape, berat, dan dingin yang campur aduk menggaggu kinerja organ tubuh saya.  Semakin naik semakin sulit rasanya bagi saya dan beberapa yang lain untuk mengangkat kaki. Beban gembolan ini rupanya lumayan mengganggu, untuk mengatur nafas saja saya harus berhenti beberapa saat, hingga pak ketua kelompok, Guntur namanya, Ia pun turun tangan membantu membawa carrier saya.  Padahal tak lama kemudian, ternyata Pos 5 sudah ada di depan mata.  Kembali semangat saya naik lagi saat saya dihadapkan pada kilauan lampu-lampu malam bumi Jawa jauh di bawah sana. Teh Syifa, salah satu dari tim kami yang pernah ke Gunung ini sebelumnya, dia bilang tempat camp nya sudah dekat, disana ada area datar dan sedikit lapang yang bisa kami gunakan untuk membangun tenda. Malah katanya disana ada warung yang menyediakan peyek dan nasi hangat setiap saat. Waaaw Cuma ada di Gunung ini, warung  di setengah jam menuju puncak. Warung Mbok Yem namanya, terkenal sampe kemana-mana. Lalu tanpa berlama-lama, kami segera bergegas memacu langkah menuju tempat tersebut.  

Sekitar setengah jam kemudian, kami akhirnya berhasil menyusul 3 orang teman kami (porter mungkin lebih tepatnya) yang sudah terlebih dahulu sampai. Tibalah kami di suatu area datar sedikit luas, nampak beberapa tenda berjejer. Sebuah warung dengan ukuran panjang dikali lebar yang cukup luas berada di sebelah kanan area tenda-tenda tadi. Bukan bohong ternyata, di tengah hutan diatas gunung seperti ini ternyata ada warung. Berarti mbok-mbok judes yang sedang mengalaskan nasi ke piring itu adalah Mbok Yem???

Jawabannya ternyata ya tapi bukan. Ya, ya itu mbok-mbok. Tapi bukan, itu bukan Mbok Yem yang kami maksud. Ada lagi Satu Warung tepat Puncak Hargo Dumilah sana, itu baru Mbok Yem yang asli. Nasi hangat ditemani peyek dan pecel buatan beliau biasanya menjadi incaran utama para pendaki setelah puncak. Wenak tenaaaaan kalo kata orang sini.

Ah sudahlah, walau ini bukan Warung Mbok Yem, tapi kami pikir tak ada salahnya kami membangun tenda disini, lagipula sudah terlalu dingin, baiknya kami segera beristirahat supaya dini hari kami bisa summit attack. Selamat tidur. (bersambung)


Ini nih penampakan yang bikin berisik Gunung Lawu


Ananuranita
Photo by: Agita, Mas Imam, Guntur, Ana

No comments:

Post a Comment

Silahkan komen di bawah ya :)