Pulau Bangka, Provinsi Bangka Belitung. Kali ini saya
berangkat kesana bukan untuk tujuan liburan, atau backpackeran, atau pula
traveling (awalnya). Pure ini untuk urusan kerjaan, I’m an Civil Engineer (walaupun masih
ga PD bgt kalo denger gelar itu disandingkan di belakang nama saya, maklum masih pemula). Oleh
karena saya seorang pegawai proyek di sebuah konsultan jalan dan jembatan di Bandung atau sebut saja PT Indonesian Engineering Consultant Internusa (PT. Indec
Internusa), maka sudah menjadi kewajiban saya untuk mengikuti intruksi atasan saya
turut serta dalam penanganan proyek tersebut.
Rabu malam, 9 April 2014 lalu, saya bersama rekan dan atasan
saya, kami bertiga berangkat dari Bandung menuju ke Bangka. Daerah yang kita
tuju adalah Muntok, sebuah kecamatan di Kabupaten Bangka Barat, Kepulauan Bangka
Belitung. Kami bekerja sama dengan P2JN Provinsi Bangka Belitung terlibat dalam
sebuah proyek duplikasi Jembatan Air Daeng di wilayah tersebut.
Pertama kali saya menginjakan kaki di tanah Bangka, kesan
pertama yang saya dapat adalah Panas, haha. Wajar saja, pagi-pagi saja suhu
udaranya sudah 30°, sedangkan di tempat tinggal saya hanya 21°, itupun bisa sampai
sepanjang hari. Namun ada beberapa hal yang menarik perhatian saya sepanjang
perjalanan menuju lokasi proyek. Pertama, jalan cekung cembung yang super lurus
sejauh mata memandang; kedua, pohon sawit dimana-mana; ketiga rumah adat dengan
arsitektural melayu yang mudah dijumpai; keempat, Tugu Bung Hatta; kelima,
pantainya yang super cantik dan seksi.
Pertama, jalan cekung cembung yang super lurus sejauh mata
memandang. Jika biasanya kita menjumpai jalan provinsi dengan kontur berbukit dan berkelok, berbeda dengan ruas jalan
menuju muntok yang memiliki kontur jalan cenderung lurus dan datar. Saking lurusnya, kita bisa melihat jelas beberapa
pasang turunan dan tanjakan dalam sekali pandang sehingga terlihat membentuk
cekungan dan cembungan yang berkali-kali membuat jantung saya seperti
tertinggal ketika melewati setiap turunan (kalo dalam bahasa sundanya mah I’m feeling
“ngalenyap. Selain itu, kondisi perkerasan hotmix yang mulussss dengan jumlah volume
kendaraan yang terbilang sedikit untuk
level jalan provinsi membuat perjalanan terasa lebih singkat dari jarak
sebenarnya (sekitar 133 km dari Pangkal Pinang).
Kedua, pohon sawit dimana-mana. Ini mungkin berkaitan dengan
kondisi tofografi wilayah Bangka Barat yang berupa dataran rendah, rawa-rawa, dengan
iklim tropis basah. Pohon sawit cocok tumbuh di daerah tropika basah, pada
ketinggian 0-700 m diatas permukaan laut. Sehingga sangat wajar apabila sebagian
besar mata pencarian penduduk Bangka Barat ini adalah petani kelapa sawit.
Ketiga, rumah adat yang banyak dijumpai. Di sepanjang jalan
menuju muntok sangat mudah sekali kita jumpai rumah-rumah tradisional yang
berderet indah mewarnai pemandangan Bangka Barat. Selidik punya selidik, ternyata Bangka kental
sekali akan rumah adat nuansa Melayu- nya atau dikenal dengan nama “Rumah Melayu Bubung Panjang” dan “Rumah Melayu Bubung Limas”. Atap-atap dengan liukan khas di ujung atas kuda-kudanya ditopang depan
badan rumah berbahan kayu kokoh berderet di ujung jalan yang kami
lewati, sesekali panorama perkampungan tersebut berganti menjadi hamparan pohon
sawit dan hutan bakau, hingga akhirnya sampailah kami ke lokasi proyek.
Ruas Tanjung Klian –
Ibul, Km 137+655. Di ruas ini akan dibangun duplikasi
jembatan yang melintasi Sungai Daeng. Maka mulai lah kami melakukan survei dan
analisis area pembangunan jembatan. Dengan dibantu pihak P2JN Bangka Belitung
selaku pemprakarsa proyek, kami melakukan proses pengukuran dan penggambaran
detail jembatan, pengukuran muka air
sungai, analisis bangunan utilitas sekitar jembatan, diskusi, dokumentasi,
serta kegiatan kelengkapan survei pendahuluan lainnya. Menjelang sore,setelah kegiatan
suvei beres dilakukan, kami bergegas kembali ke Pangkal Pinang untuk
mendiskusikan kembali beberapa hal di kantor P2JN. Di perjalanan kami sempat berhenti untuk
mengecek proyek jembatan lainnya yang sudah dalam tahap pengerjaan
konstruksi. Sebelumnya, kamipun sempat
berhenti untuk sekedar mengabadikan momen di Sebuah Tugu berlambangkan Garuda
dan nampak dua patung besar berdiri di sampingnya.
Inilah yang keempat, Tugu Bung Hatta di depan Pesanggrahan Muntok,
terletak di pusat kota Muntok. Awalnya saya iseng-iseng saja ingin mengabadikan
momen dengan berfoto di depan tugu tersebut. Namun betapa bodohnya saya, ketika
mengetahui ternyata tugu itu menyimpan sejarah perjuangan para pendiri negeri
ini. Pesanggrahan Muntok, di rumah yang
sekarang menjadi penginapan itulah Bung Karno dan H. Agus Salim diasingkan oleh
penjajah Belanda, sejak 6 Februari s.d. 6 Juli 1949. Di sini pula beberapa
dokumen penting dikonsep dan ditandatangani, antara lain perpindahan ibu kota
dari Jogjakarta ke Jakarta dan perundingan UNCI, BFO, dan KTN, 22 Juni
1945.
”Nak, kita harus berjuang terus. Pantang mundur!” Kalimat itu
membekas dalam ingatan RA Indrawati (79) kendati diucapkan 59 tahun silam oleh
Ir Soekarno. Kata-kata presiden pertama RI yang diasingkan ke Bangka itulah
yang mengobarkan semangat Indrawati untuk terus berjuang mengusir Belanda yang
hendak menguasai kembali Indonesia. (baca: Sepenggal Cerita Muntok).
Lalu, tugu yang terletak di depan Pesanggrahan Muntok ini
baru dibangun pada tahun 1951, dan diresmikan oleh Bung Hatta pada 17 Agustus
1951. Itulah kenapa tugu tersebut dinamai Tugu Bung Hatta. Megah sekali bukan
cerita bapak-bapak pendahulu kita? Dan kekaguman saya pada sejarah perjuangan bangsa
Ini semakin bertambah saja. Tidak sampai
setengah jam kami berfoto disana, karena masih ada satu tempat yang ingin kami
singgahi. Ya, apalagi kalo bukan pantai. Mari sejenak kita beralih ke Dataran
landai Timur Bangka.
Kelima, Pantai Parai Tenggiri. Satu dari sekian pantai terindah yang pernah saya kunjungi. Pantai ini
berada 40 km dari Bandar Udara Depati Amir, Pangkal Pinang, terletak di Desa
Sungai Baru, Kecamatan Sungai Liat, Bangka. Satu kata yang hampir tepat untuk
mendeskripsikan apa yang saya lihat ini, SEMPURNA.
Lautnya yang bukan sekedar biru, tapi tosca, unik memang, apalagi
dibalut dengan hamparan pasir putih dan pohon kelapa disekitarnya menghasilkan
kombinasi warna yang cantik jika kita nikmati dengan mata telanjang. Kontur
dataran landai dengan ombak relatif santai membuat pantai ini cocok dijadikan
area snorkling, tentunya dengan pemandangan bawah laut yang cukup membuat
takjub. Bukan hanya itu, yang paling spesial adalah gugusan batuan yang tertata
apik menjadi benteng pemecah ombak di timur laut Bangka ini. Betapa sempurna
keindahan kumpulan granit ini meliuk mengikuti cekungan, sebuah dekorasi natural yang hanya bisa disajikan oleh alam. Ini lah mengapa diawal saya bilang bahwa
pantai ini nyaris sempurna. Kenapa nyaris? karena kesempurnaan hanya milik Sang Pencipta. hehe..
Pantai Parai merupakan satu-satunya kawasan tujuan wisata pantai bertarap internasional
yang patut dibanggakan dipulau bangka. Hampir semua fasilitas tersedia, mulai
dari akomodasi, restauran, bar and grill, café, kolam renang, bahkan sport
and leisure.
Sejam menjadi tak ada arti saat saya mulai berkeliling
menikmati spot demi spot area pantai ini dengan kamera setia saya. Dan keindahan ini pun segera harus saya sudahi
ketika bunyi handphone berdering pertanda panggilan atasan untuk segera merapat
melanjutkan pertemuan menuju kantor P2JN Babel.
Sumber:
No comments:
Post a Comment
Silahkan komen di bawah ya :)