Tuesday, April 15, 2014

Pesona Pulau Bangka, Selalu ada Cerita dibalik Tugas Negara

Pulau Bangka, Provinsi Bangka Belitung. Kali ini saya berangkat kesana bukan untuk tujuan liburan, atau backpackeran, atau pula traveling (awalnya). Pure ini untuk urusan kerjaan, I’m an Civil Engineer (walaupun masih ga PD bgt kalo denger gelar itu disandingkan  di belakang nama saya, maklum masih pemula). Oleh karena saya seorang pegawai proyek di sebuah konsultan jalan dan jembatan di Bandung atau sebut saja PT Indonesian Engineering Consultant Internusa (PT. Indec Internusa), maka sudah menjadi kewajiban saya untuk mengikuti intruksi atasan saya turut serta dalam penanganan proyek tersebut.

Rabu malam, 9 April 2014 lalu, saya bersama rekan dan atasan saya, kami bertiga berangkat dari Bandung menuju ke Bangka. Daerah yang kita tuju adalah Muntok, sebuah kecamatan di Kabupaten Bangka Barat, Kepulauan Bangka Belitung. Kami bekerja sama dengan P2JN Provinsi Bangka Belitung terlibat dalam sebuah proyek duplikasi Jembatan Air Daeng di wilayah tersebut.  

Pertama kali saya menginjakan kaki di tanah Bangka, kesan pertama yang saya dapat adalah Panas, haha. Wajar saja, pagi-pagi saja suhu udaranya sudah 30°, sedangkan di tempat tinggal saya hanya 21°, itupun bisa sampai sepanjang hari. Namun ada beberapa hal yang menarik perhatian saya sepanjang perjalanan menuju lokasi proyek. Pertama, jalan cekung cembung yang super lurus sejauh mata memandang; kedua, pohon sawit dimana-mana; ketiga rumah adat dengan arsitektural melayu yang mudah dijumpai; keempat, Tugu Bung Hatta; kelima, pantainya yang super cantik dan seksi.

Pertama, jalan cekung cembung yang super lurus sejauh mata memandang. Jika biasanya kita menjumpai jalan provinsi dengan kontur  berbukit dan berkelok, berbeda dengan ruas jalan menuju muntok yang memiliki kontur jalan cenderung lurus dan datar.  Saking lurusnya, kita bisa melihat jelas beberapa pasang turunan dan tanjakan dalam sekali pandang sehingga terlihat membentuk cekungan dan cembungan yang berkali-kali membuat jantung saya seperti tertinggal ketika melewati setiap turunan (kalo dalam bahasa sundanya mah I’m feeling “ngalenyap. Selain itu, kondisi perkerasan hotmix yang mulussss dengan jumlah volume kendaraan yang terbilang sedikit  untuk level jalan provinsi membuat perjalanan terasa lebih singkat dari jarak sebenarnya (sekitar 133 km dari Pangkal Pinang).

Kedua, pohon sawit dimana-mana. Ini mungkin berkaitan dengan kondisi tofografi wilayah Bangka Barat yang berupa dataran rendah, rawa-rawa, dengan iklim tropis basah. Pohon sawit cocok tumbuh di daerah tropika basah, pada ketinggian 0-700 m diatas permukaan laut. Sehingga sangat wajar apabila sebagian besar mata pencarian penduduk Bangka Barat ini adalah petani kelapa sawit.

Ketiga, rumah adat yang banyak dijumpai. Di sepanjang jalan menuju muntok sangat mudah sekali kita jumpai rumah-rumah tradisional yang berderet indah mewarnai pemandangan Bangka Barat.  Selidik punya selidik, ternyata Bangka kental sekali akan rumah adat nuansa Melayu- nya atau dikenal dengan nama “Rumah Melayu Bubung Panjang” dan “Rumah Melayu Bubung Limas”. Atap-atap  dengan liukan  khas di ujung atas kuda-kudanya ditopang depan badan rumah berbahan kayu kokoh berderet di ujung jalan yang kami lewati, sesekali panorama perkampungan tersebut berganti menjadi hamparan pohon sawit dan hutan bakau, hingga akhirnya sampailah kami ke lokasi proyek.

Ruas Tanjung Klian – Ibul, Km 137+655. Di ruas ini akan dibangun duplikasi jembatan yang melintasi Sungai Daeng. Maka mulai lah kami melakukan survei dan analisis area pembangunan jembatan. Dengan dibantu pihak P2JN Bangka Belitung selaku pemprakarsa proyek, kami melakukan proses pengukuran dan penggambaran detail jembatan,  pengukuran muka air sungai, analisis bangunan utilitas sekitar jembatan, diskusi, dokumentasi, serta kegiatan kelengkapan survei pendahuluan lainnya. Menjelang sore,setelah kegiatan suvei beres dilakukan, kami bergegas kembali ke Pangkal Pinang untuk mendiskusikan kembali beberapa hal di kantor P2JN.  Di perjalanan kami sempat berhenti untuk mengecek proyek jembatan lainnya yang sudah dalam tahap pengerjaan konstruksi.   Sebelumnya, kamipun sempat berhenti untuk sekedar mengabadikan momen di Sebuah Tugu berlambangkan Garuda dan nampak dua patung besar berdiri di sampingnya.

Inilah yang keempat, Tugu Bung Hatta di depan Pesanggrahan Muntok, terletak di pusat kota Muntok. Awalnya saya iseng-iseng saja ingin mengabadikan momen dengan berfoto di depan tugu tersebut. Namun betapa bodohnya saya, ketika mengetahui ternyata tugu itu menyimpan sejarah perjuangan para pendiri negeri ini.  Pesanggrahan Muntok, di rumah yang sekarang menjadi penginapan itulah Bung Karno dan H. Agus Salim diasingkan oleh penjajah Belanda, sejak 6 Februari s.d. 6 Juli 1949. Di sini pula beberapa dokumen penting dikonsep dan ditandatangani, antara lain perpindahan ibu kota dari Jogjakarta ke Jakarta dan  perundingan UNCI, BFO, dan KTN, 22 Juni 1945.

”Nak, kita harus berjuang terus. Pantang mundur!” Kalimat itu membekas dalam ingatan RA Indrawati (79) kendati diucapkan 59 tahun silam oleh Ir Soekarno. Kata-kata presiden pertama RI yang diasingkan ke Bangka itulah yang mengobarkan semangat Indrawati untuk terus berjuang mengusir Belanda yang hendak menguasai kembali Indonesia. (baca: Sepenggal Cerita Muntok).

Lalu, tugu yang terletak di depan Pesanggrahan Muntok ini baru dibangun pada tahun 1951, dan diresmikan oleh Bung Hatta pada 17 Agustus 1951. Itulah kenapa tugu tersebut dinamai Tugu Bung Hatta. Megah sekali bukan cerita bapak-bapak pendahulu kita? Dan kekaguman saya pada sejarah perjuangan bangsa Ini semakin bertambah saja.  Tidak sampai setengah jam kami berfoto disana, karena masih ada satu tempat yang ingin kami singgahi. Ya, apalagi kalo bukan pantai. Mari sejenak kita beralih ke Dataran landai Timur Bangka.

Kelima, Pantai Parai Tenggiri. Satu dari sekian pantai terindah yang pernah saya kunjungi. Pantai ini berada 40 km dari Bandar Udara Depati Amir, Pangkal Pinang, terletak di Desa Sungai Baru, Kecamatan Sungai Liat, Bangka. Satu kata yang hampir tepat untuk mendeskripsikan apa yang saya lihat ini, SEMPURNA.

Lautnya yang bukan sekedar biru, tapi tosca, unik memang, apalagi dibalut dengan hamparan pasir putih dan pohon kelapa disekitarnya menghasilkan kombinasi warna yang cantik jika kita nikmati dengan mata telanjang. Kontur dataran landai dengan ombak relatif santai membuat pantai ini cocok dijadikan area snorkling, tentunya dengan pemandangan bawah laut yang cukup membuat takjub. Bukan hanya itu, yang paling spesial adalah gugusan batuan yang tertata apik menjadi benteng pemecah ombak di timur laut Bangka ini. Betapa sempurna keindahan kumpulan granit ini meliuk mengikuti cekungan, sebuah dekorasi  natural yang hanya bisa disajikan oleh alam.  Ini lah mengapa diawal saya bilang bahwa pantai ini nyaris sempurna. Kenapa nyaris? karena kesempurnaan hanya milik Sang Pencipta. hehe..

Pantai Parai merupakan satu-satunya kawasan tujuan wisata pantai bertarap internasional yang patut dibanggakan dipulau bangka. Hampir semua fasilitas tersedia, mulai dari akomodasi, restauran, bar and grill, cafĂ©, kolam renang, bahkan sport and leisure.

Sejam menjadi tak ada arti saat saya mulai berkeliling menikmati spot demi spot area pantai ini dengan kamera setia saya.  Dan keindahan ini pun segera harus saya sudahi ketika bunyi handphone berdering pertanda panggilan atasan untuk segera merapat melanjutkan pertemuan menuju kantor P2JN Babel.  



































photos by: ananuranita
Sumber:





No comments:

Post a Comment

Silahkan komen di bawah ya :)